Sunday, 27 February 2011

Penat....

بسم الله الرحمن الرحيم

Assalamualaikum w.b.t.

Bukan saya yang penat, tapi orang sekeliling, orang yg saya sayang, orang yang saya naaaak sangat2 faham ajaran islam yang syumul (menyeluruh) ni, mereka sangat2 penat.

Kadang2 terfikir, kenapa diorang sanggup penat2 kan diri? Tak nampak pun ape end result yg cukup boleh bagi satisfaction. Ape tujuannya? Just utk puaskan diri sendiri n nafsu? Hmmm.

Same goes to them i think, diorang pun mesti fikir, kenapa la saya sanggup penat2 buat kerja2 menyampaikan islam ni? Sanggup sacrifice masa weekend n weekdays utk cater adik2, untuk pegi daurah, usrah...

Jadi, which ever path u take, memang akan sentiasa penat.

So, pilih la;

(i) Nak path yg dpt end result di dunia, i.e org puji, self satsifaction, and the list goes on...

(ii) Nak path yg dpt end result kat akhirat, i.e Allah nanti kasi macam2 penghargaan, dpt jumpa Allah *whoaaaaa, xterkata expression* dpt masuk syurga, lepak dgn nabi *wooo ini boleh pengsan wooo, bestnyaaaaa duduk sama2 dgn diorg!!!!!* n the list goes on...

Surah Al-Isra' :

"[18] Sesiapa yang menghendaki (kesenangan hidup) dunia, Kami akan segerakan kepadanya dalam dunia apa yang Kami kehendaki, bagi sesiapa yang Kami kehendaki; kemudian Kami sediakan baginya neraka Jahannam (di akhirat kelak), untuk membakarnya dalam keadaan yang hina lagi tersingkir dari rahmat Allah.
[19] Dan sesiapa yang menghendaki akhirat dan berusaha mengerjakan amal-amal yang baik untuk akhirat dengan usaha yang layak baginya, sedang ia beriman, maka mereka yang demikian keadaannya, diberi pahala akan amal usahanya.
[20] Tiap-tiap golongan dari keduanya, golongan dunia dan golongan akhirat Kami hulurkan kepada mereka dari pemberian Tuhanmu (wahai Muhammad); dan tiadalah pemberian Tuhanmu itu tersekat (dari sesiapapun)."

Dunia ni, brape tahun je kalau nk kira, at most, approximately 60-80 years? then masuk alam barzakh.

Akhirat? FOR EVER N EVER N EVER N EVERRRRRRRR

Again, pilih la, nk senang2 masa kat dunia yg sekejap je ke, or nk senang kat akhirat?

Igt, kalau kita nk kan akhirat, Allah bagi balasan yg best kat akhirat n Allah mudahkan jalan di dunia insyaAllah... but if nk dunia, dpt dunia je la. (What a loss)

Saya dh sampaikan ape yg saya tahu, n now its your choice la nk pilih which path.

May Allah bless you always :)

P/S: My naqibah requested me to write about something else n now im writing about this.. maaf cik naqibah, told u it must come from the heart, n right now, this what comes in my heart, huhu. it'll be on another entry after this, insyaAllah...

The Ultimate Limit

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحَيْمِ

There was a movie of this title. It is about how a nation maintains its prosperity by sacrificing its young population using a special capsule which is inserted into their body.

24 hours before the capsule is to bring death to the selected ones, a government official brings Death of Certificate to that particular individual. Those who receive this certificate have only 24 HOURS of absolute freedom to do anything they want.

This movie depicted how these selected ones spend their last precious 24 hours before their death...

Somehow this movie got me thinking on how I would react if I was told that I only have 24 hours to leave and not more.

Do I have enough time to do as many deeds as I can to ‘reimburse’ all the sins that I have done?

Do I have enough time to perform ibadah to Allah as my preparation for the Hereafter?

Or do I have the time to ask for forgiveness from all the people that I have hurt?

A list of questions came to my mind and the list goes on and on and on

xxxxxxxx

No one knows when and how they are going to die except Allah the Almighty.

It is this knowledge that we should instill in ourselves to remind us constantly about death.

Let us use our time wisely doing good deeds and something beneficial to us and everyone around us :)

Let’s strive for the best and May Allah make things easy for us. Amin.


Nota kaki: This is a reminder for myself especially. Thank you for taking the time to read this. Jazakillah khair.

Monday, 21 February 2011

Diamonds~

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحَيْمِ

Diamonds…

Who doesn’t love diamonds?? (Guys probably!!hihi)

Now, can anybody guess what my favourite movie is (hint-title!!)
Too easy huh? Yup, its Blood Diamond….

Well, am not gonna gave my review on the movie, but rather whats it all about—Diamonds!!

What’s the first thing came to ur mind when talk about diamonds??
Expensive….gorgeous….want one for my wedding ring! (admit it!)

But have we ever wondered what makes it so special?

FYI,Diamonds are formed at high temperature high pressure (HTHP) condition down in earth’s mantle! Therefore, it has the highest hardness and thermal conductivity of any bulk material. Its so special to the point where only a diamond can put a scratch on another diamond.

So, what’s the point?

Well, before become diamonds, they were just mere carbon…not saying that carbon is worthless, my point is, look at the process those carbons went through to be a diamond!

Adoii…stop the metaphorical talk….x paham la!

Okay la….i’ll be direct…

Why do we always face difficult challenges? Bukan ke Allah tu most merciful? Most gracious? Then why He make us put up with all that? Then, they r times when its so hard to bear,for some people,even to the point we thought of giving up on life…..

Its simple, He wants us to be like diamonds! Special…

We r just like carbons…by itself, its stable and that’s it….we too can just live an easy life, enjoy what’s given and greed for more…but any self-respecting people knows that’s not enough!

So, is life suppose to be difficult?

I’ll say YES. If a carbon want to become diamond, it has to go through HTHP….same like us, if we want to be diamonds in the eyes of our Creator…we have to face difficult challenges…

Cakap senang la…

Yup, I agree to that….BUT remember, Allah only tests people He had His ‘eye’ on…. this also means, He’ll never leave us alone….He’s always On-Call to help us and yes, listen to our childish complains/grief anytime.. 24/7! =)
till next time...

“You can think I’m wrong, but that’s no reason to stop thinking…” =)

Monday, 14 February 2011

Deed that is loved most by Allah

بسم الله الرحمن الرحيم


'Abdullah said that he asked the Prophet which deed was LOVED MOST by Allah, the Exalted. He said: "prayer which is performed at its time" ' - Bukhari
(taken from a book entitled A day with the prophet, written by Ahmad Von Denfer)

InsyaAllah, as a Muslim, I think it is not a burden for us to perform the daily prayers, right? :) but just performing it is not enough.

Why?

Take a look at the Hadtih quoted above; and ask yourself "Have i been praying all the 5 daily prayers at its times??

For those who answered "Yes!"
Alhamdulilah, May Allah reward you as much and may He bless you always! Keep up the good work!

For those who answered "Eerrmm depends on which prayer". (Subuh laa slalu kantoooii bgn dekat2 syuruk)
Alhamdulilah, May Allah reward and bless u too! As a Muslim, we always need to strive harder to be the best, hence we need to keep up with the people who answered "Yes!". Afterall, We are THE BEST UMMAH, so let's prove that!

May Allah gather us in Jannah insyaAllah.

Introduksi

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحَيْمِ

Meninjau-ninjau di lembah gersang itu. Kiri, kanan, depan, belakang. Rimbunan pohon cuma. Terdengar bunyi desiran dari belakang. Lantas ditoleh, kelihatan Sang Angin melambai-lambai dari jauh. Tersenyum, berinjak ke tepi memberi laluan kepada Sang Angin untuk melintas pergi. Tapi, Sang Angin tidak terus melepasi, berhenti sebentar sebelum melewati tubuhnya. Terasa tempias bayu nan dingin namun mendamaikan.

“Mahu ke mana engkau wahai Sang Angin?”

“Ke atas bukit sana.”

“Bukit mana?”

“Itu, di hadapanmu. Aku mahu ke puncak.”

“Uuuu.. Tingginya. Tak penatkah mendaki?”

“Penat dan lelah usah cerita. Tapi bila sampai ke puncak, aku rasa damai.”

“Ada apa di atas bukit itu? Hiburankah?”

“Hiburan itu perhiasan sementara dunia semata. Di atas sana lebih baik.”

“Di atas itu dingin amat. Tiada tumbuhan jua. Terlalu dingin, pokok-pokok juga tak sudi tumbuh di sana.”

“Ah, aku diperintahkan untuk mendaki ke atas. Itu tugasku kini. Walau payah, beban itu mesti dipikul.”

“Perintah? Siapa yang memerintahkan engkau untuk melakukan yang payah?”

“Perintah dari Pemerintah aku.”

Sang Angin tersenyum. Memandang sayup ke atas bukit. Senyum lagi. Ah, gila kau Sang Angin, melihat bukit tinggi yang belum tentu berjaya kau daki, kau sudah tersenyum lebar begini. Bila di atas, apakah bakal robek mulutmu tersenyum lebih lebar nantinya. Geli hati seketika membayangkan mulut Sang Angin dirobek senyuman tuannya. Tersenyum sama.

“Ah, kau senyum juga. Kau dapat lihat sekarang bukan? Bila di atas, kepuasan itu bakal menjadi milik kita kerana tugas yang berat itu berjaya kita laksanakan.”

Kita? Ah, perasan benar kau Sang Angin. Bila pula kukatakan mahu mengikutmu? Itu tugasmu, bukan tugasku. Mendaki bukit setinggi itu sudahnya meragut tenagaku. Mungkin di pertengahan bukit, aku sudah tak berdaya terus.

“Ayuh, kita akan dapat lihat sekalian macam benda dari atas sana. Kita juga dapat lihat kuasa mana yang paling berkuasa.”

“Kau dapat lihat semua itu?”

“Ya, marilah. Sekarang kau sudah tahu tentang tugas ini. Lantasnya, tugas ini menjadi tugasmu sudah. Biar kita pikul bersama. Beban jadi lebih mudah.”

Tugasku? Sudah! Ah, beratnya. Tapi kata Sang Angin, kalau berdua, beban jadi mudah.

“Selepas sampai ke atas sana, lantas apa?”

“Turun ke bawah semula. Memanjat bukit dan gunung yang lain pula.”

“Ah, begitu pula? Kenapa perlu dipanjat bukit sana gunung sini. Selama hidupku, aku menghuni di bawah jua. Hatiku bahagia.”

“Kan aku dah maklum tadi, ini tugas. Tugas kau juga tugas aku. Bahagia di bawah sini cuma sementara. Kau belum kenal erti bahagia sebenar.”

Ah, tunjuk pandai pula kau Sang Angin. Mana engkau tahu aku tak kenal erti bahagia. Mana engkau tahu engkau lebih arif tentangnya? Ah!

“Di atas sana lebih tidak membahagiakan. Perlu turun semula nantinya. Panjat yang lain pula. Turun semula. Panjat semula. Ah, penat! Mana mungkin aku bahagia.”

“Bahagia itu bukan sekarang. Panjat sana, turun sini, panjat lagi, turun lagi. Nanti waktu kan sampai, tika kau tahu tugasmu sudah ditamatkan oleh Pemerintah, tika itu kau akan berasa bahagia amat. Kerana selama sebelumnya, kau taat menjalankan tugas tanpa lesu. Percayalah, nantinya lebih bahagia. Sekarang memang payah. Tapi yang payah itu menjanjikan bahagia yang istimewa, tahu?”

“Buat apa nantinya di atas sana?”

“Ah, kau memang dasar manusia suka beralasan. Sudah ku katakan itu tugas.”

“Ya, benar. Tapi tugas perlu tujuan. Masakan mendaki berpenatan begitu tanpa alasan!”

Sang Angin terdiam. Ah, gasak kau Sang Angin. Terdiam engkau tidak tahu menjawab.

“Bukankah engkau kata tadi di atas itu dingin, tiada pohon sudi menabur benih. Yang di atas perlukan khidmatku. Andai aku menghembus bayuku, moga bumi atas yang gersang kurang lesunya. Harapnya bayuku membawa bersama benih-benih yang bakal mencambahkan rimbunan pohon di atas sana. Harap jua bayuku mengheret sama Sang Awan. Harapnya jua Sang Awan yang aku heret adalah Sang Awan yang dipenuhi titisan air yang bakal membasahi bumi gersang kerajaan atas bukit.”

“Kau hanya bermain dengan harapan. Apa mungkin bayumu berjaya mengheret Sang Awan? Jika ya, apa mungkin Sang Awan yang kau heret membawa titisan air? Jika berlaku benar, apakah sudi Sang Awan menaburkan siraman di atas sana?”

“Aku pasti berjaya mengheret Sang Awan. Dia sepertiku juga. Tahu dan arif akan tugas ini. Dia menanti aku membawanya malah.”

Punya kroni pula dia. Bagaimana sekarang? Apa harus dilakukan? Sayup-sayup melihat puncak bukit, terbayang diri yang separuh nyawa mendaki. Ah, menyesal. Menyesal kerana melalui denai ini tadi. Menyesal ditemukan dengan Sang Angin. Kini berasa serba tak kena.

“Kau baca Kitab?” tanya Sang Angin setelah melihatnya membisu.

“Kitab? Kitab yang mana?”

“Kitab kita cuma satu. Tiada dua dan tiga. Kitab Utama, tentu.”

“Er.. Pasti!”

“Kalau begitu kau pasti tahu kata-kata Pemerintah yang ini. Dia tak akan memerintah yang payah, dia tak akan membebani yang tak terbeban. Kita mampu. Ayuh!”

Sudah, Kitab mana pula? Kata-kata mana yang diperkatakan Sang Angin? Bingung.

“Biar aku berfikir dahulu. Kau pergilah. Aku menyusul dari belakang.” Ah, menyesal pula menabur harapan. Acuh tak acuh.

“Apa kau tidak akan menyesal? Kalau kita berdua, kerja jadi lebih mudah. Bila menyusul nanti, kau sendirian cuma. Payahnya bertambah. Sebab itu tanggungjawab ini perlu disebarkan kepada semua. Bukan untuk mengajak yang lain kepada yang payah, tapi sebab ini titah Pemerintah. Titah Pemerintah kepada semua yang diperintah. Kita semua. Agar nanti kita berkongsi bahagia itu. Bahagia kita bersama-sama.”

“Iya, aku mengerti. Tapi, ada kerja pelu dilaksakan. Aku menyusul nanti. Aku menyusul nanti.” Berdalih.

“Tugas apakah itu yang lebih penting dari tugas ini?”

Belum sempat dia bersuara, Sang Angin meningkah, “Aduhai manusia. Kau dijadikan Pemerintah. Kini kau melanggar arahannya. Tinggal saja!” Sang Angin berpaling dari melihat wajahnya. Betapa hambar riak Sang Angin.

Dia hanya sempat melihat Sang Angin berlalu pergi. Gasak kau Sang Angin. Pergilah engkau mendaki sendiri. Lama dia mendongak, tubuh Sang Angin mengecil, mengecil dan mengecil sampai tak kelihatan terus.

Senyum, tapi hatinya tak begitu lega. Mengapa pula kini? Bukankah tak perlu mendaki bukit sana gunung sini? Tapi kata Sang Angin, itu tanggungjawab. Ah, baik perjalanannya yang terbantut tadi diteruskan sahaja. Berpaling dan melangkah. Tapi ke mana langkah ini harus dibawa?

Baru dia berkira-kira di dalam hati, dia disapa. Siapa pula kali ini? Kacau!

“Orang muda!” Dia berpaling, malas-malas. Terlihat seorang tua bertongkat, bersusah payah mengerah kudrat mendaki bukit.

“Kau ada nampak Sang Angin?” Keruh muka Orang Tua itu, peluh membasahi seluruh wajahnya. Entah berapa lama agaknya Orang Tua ini cuba mendaki bukit nan tinggi. Bodoh! Kau sudah tua. Masakan kau mampu untuk mendakinya. Telah aku yang muda ini jua menolak.

“Sang Angin sudah berlalu pergi. Mungkin sudah sampai ke atas bukit. Mendaki juga kau Orang Tua?”

“Apa? Sang Angin sudah pergi? Aku menunggunya saban hari di sini, dari aku muda seperti kau sehingga jadi begini. Sia-sia. Benarlah kata mereka, Sang Angin cuma menyapa sekali. Peluang aku tiada lagi.” Bertambah keruh rupa Orang Tua itu. Ah, buruk benar memek muka Orang Tua bila berkerut begitu.

“Mengapa perlu bersusah payah mendaki. Sanggup menunggu selama itu untuk Sang Angin?”

“Itu tanggungjawab. Tanggungjawab.”

Taksub rupanya Orang Tua ini.

“Kau disapanya juga? Mengapa kau masih di sini? Kau menolak permintaannya? Ah, kau bodoh! Macam aku dulu. Bodoh kerana menolak!”

“Mendaki bukit setinggi ini. Payah. Tentu saja aku menolak!”

“Engkau ditipunya. Mendaki bersama Sang Angin masakan payah. Hanya perlu menanti dibawa terbang bersama. Kau lihat bukan tadi betapa cepat dia mendaki?”

Sejenak terdiam. Benar. Sekejap sahaja Sang Angin hilang dari pandangan. Tertipu dia, teringat kata-kata Sang Angin, kerja jadi mudah jika berdua. Tanggungjawab. Ya, tanggungjawab itu perlu dilaksanakan.

“Orang Tua, kau mahu ke atas bukit sana?”

“Tentu, kerajaan atas bukit perlukan kita. Apabila Sang Angin membawa benih-benih dan Sang Awan, Sang Awan menabur hujan, pohon-pohon merimbun, khidmat kita diperlukan untuk menjaga pohon-pohon itu. Perlu dibaja, perlu dibajak. Itu rantaian tugas kita, menyambung tugas makhluk lainnya.”

“Ayuh!”

“Ayuh ke mana?” Dahi Orang Tua tambah berkerut.

“Ayuh mendaki. Pemerintah takkan memerintahkan yang payah. Juga, kalau berdua kerja jadi mudah.” Dia senyum.

Orang Tua senyum juga. Belum terlambat. Belum terlambat. Mereka mendongak ke atas. Tinggi. Mendaki.

“If not us, who? If not now, when?”